Pengungkapan Kasus: Penangkapan Pedagang Sepatu yang Menjual Gading Gajah

FS, seorang pria berusia 42 tahun yang berprofesi sebagai pedagang sepatu di Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung, ditangkap oleh Unit Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Satreskrim Polresta Bandar Lampung pada Kamis malam, 6 Maret 2025. Penangkapan dilakukan di toko sepatunya yang terletak di Jalan Imam Bonjol, Kelurahan Langkapura, Tanjung Karang Barat.

Operasi penangkapan ini merupakan hasil dari penyelidikan metode undercover buy menyusul laporan masyarakat yang mencurigai adanya praktik jual beli pipa rokok berbahan dasar gading gajah—komoditas yang jelas dilarang karena tergolong dalam bagian satwa dilindungi.

Dalam penggerebekan, polisi menyita 23 batang pipa rokok yang terbuat dari gading gajah, dengan panjang bervariasi antara 10 hingga 25 cm. Kepada penyidik, FS mengaku mendapatkan barang-barang tersebut dari beberapa pedagang di Solo, Yogyakarta, dan Tegal. Ia menjual pipa rokok tersebut dengan harga antara Rp1 juta hingga Rp6 juta per batang.

Pembebasan Mengejutkan: Dinyatakan ODGJ, Penyidikan Dihentikan

Namun, hanya sekitar satu bulan setelah penahanan, FS secara mengejutkan dibebaskan. Kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan bahwa tersangka diduga menderita gangguan kejiwaan dan termasuk dalam kategori Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Hal ini dikonfirmasi oleh Kasatreskrim Polresta Bandar Lampung, Kompol Enrico Sidauruk. Sayangnya, polisi tidak mempublikasikan hasil pemeriksaan medis yang menjadi dasar penghentian penyidikan. Usai dibebaskan, FS kembali menjalankan aktivitas usahanya seperti biasa di toko sepatu miliknya.

Kritik Publik: Ancaman terhadap Konservasi Satwa Liar

Keputusan membebaskan FS menuai kritik tajam. Aktivis lingkungan dan pegiat konservasi menyayangkan langkah ini. Menurut mereka, gangguan jiwa tak seharusnya langsung jadi alasan menghentikan kasus pidana, terutama terkait satwa dilindungi.

Gading gajah dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Pelanggaran terhadap aturan ini bisa dihukum hingga 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp100 juta.

Penghentian kasus ini dianggap berpotensi menjadi preseden buruk. Penegakan hukum terhadap perdagangan ilegal bagian tubuh satwa liar bisa melemah. Publik kini mendesak transparansi dari kepolisian, khususnya soal pemeriksaan medis yang dijadikan dasar penghentian kasus.