Gelombang PHK Kembali Terjadi di Awal 2025

Memasuki triwulan pertama tahun 2025, Indonesia kembali dihadapkan pada lonjakan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang cukup signifikan. Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan, sebanyak 73.992 pekerja tercatat kehilangan pekerjaannya sepanjang Januari hingga Maret 2025. Angka ini memicu kekhawatiran baru di tengah upaya pemulihan ekonomi nasional pasca-pandemi.

Sektor Manufaktur dan Tekstil Paling Terdampak

Dari total pekerja yang terkena PHK, mayoritas berasal dari sektor manufaktur, khususnya industri tekstil, garmen, dan alas kaki. Menurut laporan asosiasi industri, turunnya permintaan ekspor dari Amerika Serikat dan Eropa menjadi faktor utama penyebab gelombang PHK tersebut. Daya beli global yang menurun akibat inflasi dan ketidakpastian geopolitik membuat banyak pabrik kehilangan kontrak besar.

Selain itu, sektor teknologi juga mengalami gelombang PHK karena perusahaan startup dan digital melakukan efisiensi besar-besaran setelah gagal mendapatkan pendanaan lanjutan (funding winter). Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja di berbagai posisi, dari engineer hingga customer support.

Biang Kerok: Efek Global dan Ketidaksiapan Adaptasi

Menurut analis ekonomi dari INDEF, ada beberapa faktor utama yang menjadi biang kerok gelombang PHK di awal 2025. Pertama, melemahnya permintaan global akibat konflik geopolitik dan ketidakpastian ekonomi di negara-negara maju. Kedua, kurangnya diversifikasi pasar ekspor membuat Indonesia sangat tergantung pada beberapa negara tertentu.

Ketiga, perusahaan lokal belum siap sepenuhnya bertransformasi digital. Ketika tantangan global datang, perusahaan tidak mampu bertahan karena masih mengandalkan metode produksi lama yang tidak efisien. Kombinasi antara tekanan eksternal dan lemahnya inovasi internal membuat banyak perusahaan kolaps atau melakukan pengurangan tenaga kerja besar-besaran.

Respons Pemerintah dan Harapan Pekerja

Menanggapi situasi ini, Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan bahwa mereka tengah menyiapkan program pelatihan ulang (reskilling) dan alih keterampilan (upskilling) untuk para pekerja yang terkena PHK. Selain itu, pemerintah juga mendorong kerja sama dengan industri untuk membuka peluang kerja baru di sektor-sektor potensial seperti ekonomi hijau dan energi terbarukan.

Namun, serikat buruh menilai bahwa langkah tersebut belum cukup. Mereka mendesak pemerintah untuk memberikan bantuan langsung sementara (BLT) bagi pekerja terdampak serta mempercepat pencairan jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) dari BPJS Ketenagakerjaan.

Kesimpulan

PHK massal di triwulan pertama 2025 menjadi sinyal bahwa tantangan ekonomi global masih berdampak nyata pada sektor ketenagakerjaan nasional. Penyebab utamanya berasal dari kombinasi tekanan eksternal dan kelemahan struktural di dalam negeri. Diperlukan kebijakan yang lebih adaptif dan dukungan konkret untuk pekerja agar mereka bisa bangkit dan kembali produktif di sektor baru yang lebih berkelanjutan.